Rabu, 02 Juni 2010

PBB Dorong Investigasi Israel terkait serangan kapal kemanusiaan


sumber : http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=64968

JERUSALEM - Serangan tentara Israel terhadap kapal bantuan kemanusiaan yang tergabung dalam misi Freedom Fotilla di perairan internasional pada Senin lalu (31/5) terus menuai kecaman. Protes dan unjuk rasa mengutuk serangan itu marak di hampir seluruh dunia kemarin (1/6). Selain di negara-negara berpenduduk muslim, demo berlangsung di negara-negara Eropa, Asia, bahkan di dalam negeri Israel. Mereka mengutuk penyerbuan terhadap enam kapal bantuan, termasuk kapal berbendera Turki Mavi Marmara yang saat itu membawa sekitar 600 relawan dan aktivis.



Misi tersebut mengangkut 10 ribu ton bantuan bagi rakyat Palestina di Jalur Gaza yang terkena blokade dan embargo Israel beberapa tahun ini. Sebanyak 700 relawan pro-Palestina bergabung dalam misi tersebut. Sebanyak 19 relawan tewas karena serangan Israel dan 36 lainnya luka-luka. Israel juga mengklaim 10 tentaranya terluka. Merespons serangan tersebut, Dewan Keamanan (DK) PBB mengadakan pertemuan darurat di New York kemarin. Setelah bersidang secara tertutup lebih dari 12 jam, DK PBB sepakat untuk menyerukan dan mendorong investigasi atas kasus itu.

Pada saat bersamaan, Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB (UN Human Rights Council) kemarin sore (tadi malam WIB) juga mengadakan sidang darurat di Jenewa, Swiss. Pertemuan tersebut berlangsung setelah ada tekanan dari negara-negara muslim soal perlunya penyelidikan internasional atas penyerbuan Israel terhadap kapal bantuan kemanusiaan yang menuju Jalur Gaza.

"Dewan akan mengadakan perdebatan mendesak soal insiden kapal bantuan bagi Gaza," tutur Claire Kaplun, juru bicara dewan yang beranggota 47 negara tersebut. Permintaan diajukan oleh negara-negara anggota Liga Arab dan Organisasi Konferensi Islam (OKI).

Delegasi Pakistan, Sudan, dan Palestina juga telah menyiapkan draf resolusi dalam debat tersebut agar mengutuk serangan Israel maupun mendorong upaya penyelidikan internasional. "Delegasi itu mendesak pembentukan misi pencari fakta internasional untuk menginvestigasi pelanggaran hukum internasional terkait serangan Israel terhadap kapal-kapal bantuan kemanusiaan," kata sumber mengutip dokumen itu.

Sayangnya, meski mendukung dan mendorong investigasi, DK PBB hanya menyepakati presidential statement (pernyataan yang dikeluarkan pimpinan DK PBB berdasar konsensus anggota). Keputusan tersebut di bawah resolusi DK PBB dan lebih lemah daripada tuntutan awal Palestina, negara-negara Arab, dan Turki. Hal itu terjadi karena adanya keberatan AS, sekutu dekat Israel yang juga menjadi anggota tetap DK PBB.

Negara-negara muslim sebetulnya mendesak dan menyerukan supaya serangan Israel dikutuk "dalam bahasa yang kuat dan keras" serta "diadakan suatu investigasi internasional yang independen". Tapi, presidential statement akhirnya disepakati dan dibacakan pada pertemuan formal DK PBB.

Isinya adalah menyerukan "sebuah investigasi segera, adil, kredibel, dan transparan sesuai standar internasional". Kesepakatan tersebut juga mengutuk "tindakan-tindakan (kekerasan) seperti itu" yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan luka-luka tanpa menyebut nama Israel.
Israel melaporkan, 10 orang (relawan) tewas dalam insiden itu. Tapi, IHH (organisasi relawan Turki) menyebut sedikitnya 15 orang tewas. Sementara itu, stasiun televisi Israel Channel 10 TV memberitakan 19 relawan tewas dan 36 lainnya luka. Menlu Turki Ahmet Davutoglu menyebut serangan Israel itu sebagai "tindakan bandit dan pembajakan" di laut lepas serta "pembunuhan oleh negara". Pengamat PBB di Palestina Riyad Mansour menyebutnya sebagai "kejahatan perang". Dia juga meminta DK PBB mengadakan sidang terbuka untuk membahas serangan Israel.

Dalam putusannya, DK PBB mendesak agar Israel membebaskan semua relawan dan aktivis dari sekitar 38 negara yang ditahan. Mereka tergabung dalam misi kemanusiaan untuk rakyat Palestina di Jalur Gaza. Di antara mereka, ada 12 relawan Indonesia. Selain itu, DK PBB meminta supaya Israel mencabut embargo dan blokade atas Jalur Gaza.

Enam kapal bantuan kemanusiaan digiring ke Ashdod, kota pelabuhan di utara Israel, setelah insiden penyerbuan. Kepada radio militer, pejabat Kementerian Dalam Negeri Israel Yossi Edelstein menyatakan bahwa pihaknya telah mendeportasi 48 di antara 686 penumpang enam kapal kemanusiaan.Salah seorang penumpang kapal yang dideportasi itu adalah mantan diplomat karir AS Edward Peck. Di antara yang masih ditahan, sebanyak 368 orang berkewarganegaraan Turki. Sebagian korban tewas juga berasal dari Turki.

Perdana Menteri (PM) Turki Tayyip Erdogan mengutuk keras serangan tersebut dan menyebutnya sebagai pembantaian. Erdogan juga mendesak agar Israel dihukum atas tindakannya tersebut. "Perilaku Israel itu seharusnya mendapat balasan hukuman yang setimpal. Tidak seorang pun boleh menguji kesabaran Turki. Kinilah saatnya masyarakat internasional mengatakan cukup bagi Israel. PBB harus bertindak tegas," ungkap Erdogan. Dia juga memastikan bahwa hubungan Turki-Israel tidak akan sama seperti sebelumnya.

Erdogan telah berbicara dengan Kanselir Jerman Angela Merkel dan PM Inggris David Cameron. Dia juga akan mengirimkan pesan yang sama saat bicara lewat telepon dengan Presiden AS Barack Obama. "Israel harus mencabut embargo tidak manusiawi atas Jalur Gaza. Membunuh manusia tidak berdosa jelas tidak bisa diterima," tegasnya.

Sikapnya itu cukup beralasan. Sejumlah saksi mata di kalangan relawan menceritakan momen saat Israel menyerbu dan menyerang kapal serta menembaki relawan. Saat itu, tentara Israel menembakkan peluru, gas air mata, dan menggunakan senjata kejutan listrik kepada relawan.

"Mereka (tentara Israel, Red) naik ke atas kapal sekitar pukul 05.30 (pukul 09.30 WIB)," kata aktivis Yunani Michalis Grigoropoulos. Saat itu, dia naik kapal Eleftheri Mesogeio, kapal Yunani yang lebih kecil dibandingkan kapal Mavi Marmara. Dua aktivis Yunani juga dipukuli polisi Israel saat ditahan di penjara Kota Ashdod. Matthias Jochheim, dokter Jerman yang naik kapal Mavi Marmara, menceritakan bahwa tidak seorang pun penumpang kapal yang bersenjata. Mereka hanya menggunakan kayu untuk membalas serangan tentara Israel. Pernyataan itu membantah Israel bahwa para relawan bersenjatakan pisau dan besi saat menyerang tentaranya.

Tiga politisi Jerman dan perwakilan masyarakat Palestina di Jerman juga menumpang kapal-kapal itu. "Saya hanya melihat dua kayu dan potongan kecil lain yang digunakan (relawan). Tidak ada senjata lain, termasuk pisau," kata Norman Paech, mantan anggota parlemen Jerman yang juga relawan, saat tiba di Berlin kemarin. "Kami tidak siap melawan karena kami kami ingin menunjukkan aksi damai," lanjutnya.

Pernyataan itu didukung Inge Hoeger, 59, dan Annette Groth, 56. Keduanya merupakan anggota parlemen dari Die Linke dan rekan Paech, yang ikut naik kapal tersebut. "Kami merasa seperti terlibat perang dan diculik. Padahal, kami hanya membawa bantuan ke Gaza dan tidak bersenjata," kata Hoeger. (AFP/Rtr/AP/dwi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar